MASALAH PENGETAHUAN
A. Apakah
pengetahuan itu
Pengetahuan kata dasarnya tahu,mendapatkan pe dan an. Yang menunjukkan adanya proses
mengetahui yang kemudian menghasilkan sesuatu yang disebut pengetahuan. Sebagai salah satu bidang
filsafat, masalah ini dipersoalkan secara khusus di dalam epistemologi, yang
berasal dari bahasa Yunani epistime yang
berarti pengetahuan.
Adapun pengetahuan itu adalah sesuatu yang ada sebagai
sebuah keniscayaan pada diri manusia. Keberadaanya berawal dari kecenderungan
psikhis manusia sebagai bawaan kodrati yaitu dorongan ingin tahu yang bersumber dari keinginan atau
kemauan.Sedangkan keinginan adalah unsur kekuatan jiwa, sebagai bagian dari
tripotensi kejiwaan berupa akal pikiran (ratio), perasaan (emotion/feeling) dan keinginan (will). Ketiganya berada dalam satu
kesatuan, dan secara terbuka bekerja saling mempengaruhi, menurut situasi dan
keadaan. Artinya, dalam keadaan tertentu pikiran atau perasaan bisa lebih
dominan.Konsekwensinya, maka ada pengetahuan akal (logika), perasaan
(estetika), dan keinginan (moral). Akan tetapi idealnya pengetahaun seharusnya
mengandung kebenaran sesuai dengan prinsip akal, perasaan dan keinginan. Dengan
kata lain , pengetahuan yang benar haruslah
dapat diterima dengan akal sekaligus diterima oleh perasaan dan keinginan.
Kenyataanya, manusia dapat meraih pengetahuan tidaklah
dengan serta merta. Hal ini justru disebabkan karena keterbatasan kemampuan
manusia itu sendiri.Oleh karenanya, maka pengetahuan diperoleh menurut proses
yang kiranya dapat diterangkan sebagai berikut ini.
Pada mulanya, manusia berada dalam kondisi tidak tahu
apa-apa.Meskipun peryataan ini meragukan, tetapi marilah kita sepakati terlebih
dahulu.Katakanlah ketika manusia itu masih dalam keadaan sebagai bayi atau
kanak-kanak.Ia sekolah hanya bisa percaya dan menerima apa saja dari orang tua
sebagai kebenaran. Selanjutnya setelah potensi psikis berkembang pada titik kesadaran tertentu, barulah ada di
dalam keadaan kagum dan heran. Dengan perasaan kagum dan heran ini, manusia mulai
meragukan apa saja baik itu benar
ataupun salah. Dari sini muncullah dorongan ingin tahu secara benar dan pasti
mengenai barang sesuatu sehingga bisa memuaskan. Itu adalah langkah terakhir
yang disebut kepastian.
Adapun dorongan ingin tahu untuk sampai pada taraf
kepastian itu, terangkum di dalam 4
(empat) pertayaan ilmiah, yaitu
: apa, mengapa bagaimana dan kemana. Dengan ke empat pertayaan ilmiah itu,
persoalan mengenai apa yang dimaksud dengan pengetahuan yang pasti benar menjadi jelas.
Pertayaan apa,
menuntut jawaban berupa essensi/subtansi
atau diri (hakikat). Obyek yang
ingin diketahui.Misalnya,apakah ini ? itu adalah air. Jawaban ini menjelaskan
bahwa barang sesuatu itu bersubtansi atau tergolong ke dalam dari atau
berhakikat air, bukan yang lain.Pertayaan ini menduduki tahap pertama dalam
proses terjadi pengetahuan.
Selanjutnya pertayaan mengapa,menuntut jawaban berupa sebab musabab (causalities) bagi
adanya barang sesuatu sebagai obyek. Misalnya mengenai air tadi, dapat
diterangkan sebab-musab adanya dengan banyak cara. Salah satu diantaranya
seperti yang dijelaskan oleh para ahli fisika/kimia, sebagai berasal mula dari
persenyawaan antara zat hidrogen dan oksigen dalam perbandingan dua banding
satu.
Berikut mengenai pertayaan bagaimana. Apa yang dituntut dari pertayaan ini adalah pengetahuan
mengenai halikwal yang bersangkutan dengan keberadaan
barang sesuatu. Misalnya mengenai cara-cara beradanya, jenis, bentuk dan
sifat-sifatnya pada contoh air tadi, bisa berada dengan cara hujan, dengan menggali
sumber dan sebagainya, lalu disebut sebagai berjenis air hujan, air sumur dan
sebagainya. Adapun mengenai bentuk sifat-sifatnya adalah sebagai zat cair
(bukan zat atau gas dan lain-lain).
Sedangkan pertayaan kemana, menuntut jawaban berupa tujuan (tellos), bisa juga kegunaan (utility) atau fungsi. Contoh mengenai air tadi
berguna dan berfungsi sebagai adanya hidup akan kehidupan di bumi ini.
Jadi dengan
ke-empat ilmiah tadi secara umum diperoleh pengetahuan dasar mengenai
identitas obyek.Sehingga dengan demikian tidak akan ada kesimpang-siuran
pengetahuan mengenai suatu obyek dengan obyek-obyek lain.Khususnya dalam hal
obyek yang berbeda-beda tetapi dalam satu jenis.
Adapun mengenai
masalah yang bersangkutan dengan persoalan apakah pengetahuan, masih ada satu
hal lagi, yaitu mengenai masalah hal apa saja yang harus diketahui. Apa yang
ingin diketahui adalah obyek-obyek apa saja dalam wujud keberadaan yang
bagaiamanapun jika disebutkan, obyek pengetahuan itu bisa berupa benda – benda mati
(padat,cair dan gas), benda – benda hidup (vegativa dan zoologia), manusia
(human being) dan bahkan Tuhan Sang Pencipta sendiri. Dari sini terlihat bahwa
dorongan ingin tahu itu tidak terbatas pada apakah hal sesuatu(obyek) itu dapat
diketahui secara pasti atau tidak.
B. Mengapa pengetahuan itu ada
Persoalan ini dapat dikembalikan kepada pendukung
(subject) pengetahuan itu sendiri, yaitu manusia. Seperti telah disinggung di atas
bahwa di dalam manusia terdapat sifat kodrat berupa kecendurungan ingin tahu. Tegasnya ingin tahu mengenai
apa saja, dalam taraf yang bagaimana secara terus-menerus.
Pada sisi lain, manusia itu hidup dan berkehidupan.
Banyak masalah yang terkandung di dalamnya, di mana hal ini justru sebagai
konsekuensi dari adanya tujuan hidup itu
sendiri. Oleh sebab itu, dalam rangka pencapaian tujuan hidup inilah semua
masalah itu perlu dipecahkan satu persatu. Pemecahan masalah-masalah ini
penting agar kebutuhan-kebutuhan hidup yang relevan dengan tujuan hidup dapat pula
satu persatu disediakan. Untuk memecahkan masalah-masalah diperlukan
pemikiran-pemikiran dan pengalaman yang cukup. Dari dialetika pemikiran dan
pengalaman itulah secara dialetik pula pengetahuan lahir dan berkembang jadi
Nampak jelas bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang mutlak perlu bagi manusia.
Menjadi lebih jelaslah kiranya jika diterangkan dengan
cara sebaliknya. Bagaimana seandainya tidak mengupayakan adanya pengetahuan ?
apakah ia cukup hanya dengan instingnya saja bisa hidup ? jika dijawab ya, maka
apa bedanya dengan binatang ?
Jadi sebenarnya hal yang menentukan bagi adanya
pengetahuan itu adalah tripotensi
kejiwaan manusia itu sendiri. Yaitu cipta / pikiran, rasa dan karsa /
kemauan. Cipta berperang sebagai alat atau cara untuk memecahkan persoalan,
sedangkan rasa lebih berperang sebagai penghalus sikap dan perilaku sehingga
substansi persoalan dapat dipecahkan, dan karsa sebagai pembangkit semangat
sehingga kelangsungan upaya pemecahan masalah tidak terhenti. Maka dengan
pengetahuan manusia bisa mempertahakan dan mengembangkan hidup dan kehidupannya
demi tercapaianya tujuan hidup.
Mengenai sebab-musabab pengetahuan, juga bersangkutan
erat dengan maslah sumber-sumber
pengetahuan. Dikenal ada beberapa sumber, yaitu 1) Kepercayaan berdasarkan tradisi, adat istiadat dan agama 2) Kesaksian orang lain 3) Panca indera (pengalaman),4) Akal pikiran 5) Intuisi.
Sumber pertama (kepercayaan
berdasarkan tradisi, adat dan agama), adalah merupakan warisan masa lalu,
warisan nenek moyang.Biasanya sumber ini berbentuk norma-norma atau
kaidah-kaidah yang berlaku didalam hidup sehari-hari. Didalam norma-norma atau
kaidah-kaidah itu terkandung pengetahuan yang kebenarannya kadang tidak dapat
dibuktikan dengan jelas, akan tetapi sulit diganggu-gugat dan kritik. Jadi
harus diikuti begitu saja.Jika dipertanyakan mengapa bagi muslim harus menghadap
kea rah kiblat ketika sholat,ziarah ke makam,dan sebagainya, maka tidak ada
jawaban lain kecuali begitulah adat dan
kepercayaanya. Demikian masih banyak contoh hal-hal bertebaran di dalam
hidup sehari-hari yang bersumber dan adat istiadat, kepercayaan dan agama-agama
yang hidup di dalam masyarakat yang berbeda-beda.
Sumber kedua,
kesaksian orang lain yang berdasarkan otoritas, juga masih diwarnai oleh
kepercayaan kepada orang lain,guru,ulama,orang yang dituakan dan sebagainya.
Semua apa yang mereka katakana benar atau salah,baik atau buruk pada umumnya
diikuti dan dijalankan begitu saja.Karena kebanyakan orang telah mempercayai
mereka sebagai orang-orang yang berpengetahuan lebih luas dan benar.Boleh jadi
sumber pengetahuan ini mengandung kebenaran, tetapi persoalannya terletak pada
apakah orang-orang itu bisa dipercaya atau tidak. Lebih dari pada itu apakah
kesaksian pengetahuannya itu sebagai hasil pemikiran,penelitian atau pengalaman
yang benar atau tidak. Jika kesaksiannya adalah merupakan kebohongan, maka hal
ini akan membahayakan kehidapan manusia dan masyarakat itu sendiri.
Selanjutnya mengenai sumber ketiga pengalaman inderawi.Sejauh manakah tingkat kebenarannya ?
bagi manusia pengalaman inderawi adalah shalat vital bagi kebutuhan hidup
sehari-hari. Dengan mata,telinga,hidung, lidah dan kulit orang bisa menyaksikan
secara langsung kebenaran mengenai suatu obyek secara langsung.
Tetapi, apakah daya kemampuan panca indera dalam
menangkap kebenaran obyek bisa dipercaya dan diyakini ? bukanlah kita sering
tertipu dengan kesaksian-kesaksian indera ? Lihatlah peristiwa-peristiwa
seperti gaung,ilusi,halusinasi,fatamorgana,tangis, atau tawa seseorang dan
sebagainya,seringkali menipu daya indera kita. Karena sesungguhnya kemampuan
pancaindera itu amat terbatas. Terbatas hanya kepada obyek-obyek yang menampak
(appearance being) dan yang fisis
atau yang terlihat,terdengar,tercium,tercecap dan terasa saja.Kecuali itu
kenyataanya ada obyek yang sebenarnya (actual
being) tersirat di dalam yang fakta inderawi itu. Kenyataanya banyak orang yang
tersesakdan celaka karena keputusan dan penilainaan yang diberikan menurut
penginderaan peristiwa alam dan ulah orang seorang itu salah.Oleh sebab itu kemampuan pancaindera sering diragukan
kebenarannya.Pepatah dalam bahasa inggris mengatakan appearances are deceiving
(apa yang menampak tidak selalu dipercaya).
Sumber ke-empat
yaitu akal pikiran.Berbeda dengan pancaindera, akal pikiran memiliki sifat yang
lebih rohani. Karena itu lingkupan kemampuannya melebihi pancaindera, menembus
sampai kepada hal-hal yang metafisis. Kalau pancaindera hanya mampu menangkap
hal-hal yang fisis, yang satu persatu dan berubah-ubah. Maka akal pikiran mampu
menangkap hal-hal yang spiritual, yang seragam dan yang tetap tidak
berubah-ubah. Oleh sebab itu akal pikiran senantiasa meragukan pengetahuan semu
dan menyesatkan.
Singkatnya akal pikiran cenderung memberikan
pengetahuan yang lebih umum,obyektif dan
pasti yang sifatnya tidak berubah-ubah.Sehingga dengan demikian dapat diyakini
kebenarannya, meskipun bersifat apriorik-deduktif. Misalnya jika semua orang makan daging, dan Si A
adalah manusia, maka si A pasti makan daging. Hasil pengetahuan dari cara
berpikir silogistik ini, keberanannya tidak bisa dibantah lagi karena bersifat
pasti, meskipun deduktif. Akan tetapi kalau secara factual teryata ada satu
orang saja yang teryata memang tidak makan daging, maka kemampuan pikiran
silogistik itu tidak bisa berbicara banyak mengenai kebenaran.
Sumber ke-lima yaitu
intuisi, adalah merupakan gerak hati yang paling dalam jadi sangat bersifat
rohani, melampaui ambang batas akal pikiran. Pengetahuan yang bersumber dari
intuisi, adalah merupakan pengalaman batin yang bersifat langsung. Artinya
tanpa melalui sentuhan indera ataupun olahan akal pikiran. Ketika dengan
serta-merta seorang memutuskan untuk berbuat atau tidak berbuat dengan tanpa
alas an yang jelas, maka ia berada dalam pengetahuan yang intutif. Dengan demikian,
pengetahuan ini kebenarannya tidak dapat diuji baik menurut pengalaman inderawi
maupun akal pikiran. Karena itu tidak bisa berlaku umum, hanya berlaku secara
individual belaka.
Dari kelima sumber tersebut, memberikan gambaran umum
mengenai sebab-musabab adanya pengetahuan yang kiranya dapat disederhanakan
sebagai berikut :
Pada mulanya pengetahuan didapatkan dengan cara
percaya. Yaitu percaya kepada adat-istiadat, agama-agama dan kesaksian orang
lain.Selanjutnya, melalui kemampuan panca indera / pengalaman kepercayaan itu
mulai di ragu kan kebenaranya.Ketika
akal pikiran mulai bekerja, maka mulai ada perkiraan, yaitu ketika faktor-faktor yang mengiyakan atau menidakkan mulai
berat sebelah. Begitu seterusnya apabila berat sebelahnya semakin menjadi
nyata, maka kemudian berturut-turut menjadi pendapat,kepastian,dan keyakinan.